Minggu, 27 September 2020

Mendaki Hingga 2.958 mpdl

Sekitar tanggal 6 juli 2019, aku melakukan pendakian ke Gunung Gede melalui Cipanas (via gunung putri). Bukan pertama kali nya mendaki, membuat perasaan biasa saja. namun pertama kali nya menginap di gunung, membuat aku prepare lebih. Makanan, pakaian, alat-alat lainnya. Carrier aku penuh tanpa jaket. Alhasil, baru 100 meter dari pos, aku ambruk. kepala pening dan mual. Teman-teman melanjutkan perjalanan, aku berencana balik kanan. Mungkin menikmati indahnya cipanas tak buruk pikirku. 

Namun, 3 teman yang berjalan terakhir menawarkan aku untuk membawakan tas carrier aku. dengan tidak enak hati, aku menyerahkannya dan aku berjalan tanpa membawa apa-apa. hanya tenda dan minum di tangan. 

Ditengah perjalanan, langit menggelap. Perasaaan aneh muncul. malam-malam ditengah hutan, tapi aku yang penakut ini tak ada rasa takut. Setelah menempuh perjalanan selama 7 sampai 9 jam, kami sampai di lapangan Surya Kencana pukul 23.15 WIB. Disuguhi ribuan bintang di langit yang bersih dan cerah. tak ada rasa takut, hanya ada rasa haru. 

Pagi menjelang, kami membuat sarapan dengan energen dan pop mie. dan pas sadar, pop mie yang aku bawa ternyata mie goreng dan pedas. Alhasil aku meminta makanan pada rekan-rekan. Makanan yang aku bawa tak ada yang bisa aku makan. Cukup madu, mie dan air yang bisa masuk ke mulut dan perut sebelum melanjutkan perjalanan menuju kawah. Ternyata kawah tak terlihat karena tertutup awan. 

Well, pas pulang, tas ku lumayan ringan. dengan menitipkan sleeping bag ke rekan yang lain, aku berjalan dengan membawa tas dan tenda. wajahku ceria bisa merasakan menggendong carrier di puncak gunung. Dan yah, itu gak mudah. Seperti ketika kami mendaki, begitu pun saat turun. Tak terhitung jumlah kami berhenti hanya sekedar minum atau beristirahat sebentar hingga istirahat untuk makan sampai berleha-leha. Kami sadar, rombongan kami memiliki stamina yang berbeda-beda hingga kami saling menghargai untuk saling menunggu.

Yupz, bukan tentang berapa tinggi gunung yang didaki, namun menurutku lebih pada bagaimana aku memaknai proses pendakian.

Hidup minimalis merupakan kunci para pendaki. Membawa barang seperlunya. Tak ada kemewahan dan kebercukupan. Sometimes aku berpikir, hanya dengan alat-alat sederhana dan makanan apa adanya, kami bisa bertahan. Lantas kenapa kehidupan  penuh dengan keinginan yang sebenarnya tanpa itu juga  bisa bertahan hidup. Well, its about ego. Tapi begitulah kehidupan. 

Kerjasama dan saling aware satu sama lain. Semuanya terangkum. Tak ada rasa takut. istilah 'istirahatlah ketika lelah' bukan haya sekedar pepatah tapi memang harusnya begitu. Mungkin biasanya diantara kami terdapat rasa tak suka atau masaah, namun selama perjalanan itu tak nampak. Hanya kepedulian dan cita-cita yang sama yakni puncak gunung. Semua selamat hinga puncak. Siapapun dia. Ketika lelah kami semua behenti untuk menungugu dan  hanya untuk bertanya kabar.

Aku mengagumi bunga 'abadi', namun disana aku memahami bahwa prosesnya gak seindah tampaknya. Yupz, hasil tak pernah mengkhianati usaha. Bagaimana bunga Edelweis tidak abadi jika proses mereka sangatlah sulit. Pohon yang tak hitam, melewati terik matahari dan dingin nya angin malam yang mencekam.

Rasa puas sama diri sendiri telah melewati rintangan yang  tidak mudah. Saat sudah turun dan memandang gunung yang begitu kokoh, bisikan bahwa kau telah mendakinya dengan berbagai drama membuat aku dapat berkata pada diri sendiri 'well done'. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.2 PEMIMPIN PEMBELAJARAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA   Oleh : Nining Yuningsih   Pengertian dan Im...