Kamis, 27 Oktober 2022

 Koneksi Antar Materi - Modul 1.4

Menciptakan Budaya Positif

Nining Yuningsih

(CGP Angkatan 6)

 

Peran Menciptakan Bidaya Positif

Sebagai calon guru penggerak yang memiliki nilai berpihak pada murid dan kolaboratif, serta inovatif, saya memiliki tanggung jawab untuk berpihak pada murid dalam menanamkan budaya positif baik di kelas maupun di sekolah. Juga berkolaborasi bersama guru lainnya juga phak sekolah untuk menciptakan budaya positif dengan menyeragamkan persepsi dan sikap. Terhadao murid. Dan sebagai guru yang inovatif, saya memiliki tanggung jawab untuk mencari cara terbaru yang efektif saat menghadapi murid yang memiliki pengetahuan yang baru dan bayak juga kosakata yang beragam.

Peran sebagai seorang pendidik yakni haruslah menjadi teladan, seorang model sekaligus mentor dari anak/siswa di dalam mewujudkan perilaku yang berkarakter yang meliputi olah pikir, olah hati dan olah rasa. Keyakinan kelas wajib dimiliki oileh setiap kelas dan setiap guru sehingga guru dapat memiliki atau mengambil peran sebagai posisi kontrol dari posisi kontrol yang ada (Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer). Selain iytu, inovasi sanagt dibutuhkan oleh guru untuk menerapkan segitiga restitusi untuk menghadapi siswa yang unik dan beragam.

Kolaborasi antar elemen sekolah menajdi sebuah kewajiban untuk mewujudkan busaya positif di sekolah. Penetapan aturan yang disepakati bersama menjadi tanggung jawab bersama untuk merealisasikannya. Sosialisasi terhadap ilmu dan metode baru dari satu elemen ke elemen lain. Saling bahu membahu untuk menciptakan segitiga restitusi dalam peran masing-masing dalam diri guru. Menyaman persepsi dan realisasi dalam disiplin positif menjadi kunci terciptanya budaya positif di sekolah.

Refleksi pemahaman

1.      Disiplin positif

Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada murid-murid yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai, atau mencapai suatu tujuan mulia.

 

2.      Teori motivasi, hukuman dan penghargaan,

hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Anak atau murid tidak tahu apa yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya. Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun psikis, murid/anak disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata. Sementara disiplin dalam bentuk konsekuensi, sudah terencana atau sudah disepakati; sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Umumnya bentuk-bentuk konsekuensi dibuat oleh pihak guru (sekolah), dan murid sudah mengetahui sebelumnya konsekuensi yang akan diterima bila ada pelanggaran. Pada konsekuensi, murid tetap dibuat tidak nyaman untuk jangka waktu pendek.

 

3.      Keyakinan Kelas

Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati secara tersirat dan tersurat, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan memahami arti sesungguhnya tentang peraturan-peraturan yang diberikan, apa nilai-nilai kebajikan dibalik peraturan tersebut, apa tujuan utamanya, dan menjadi tidak tertarik, atau takut sehingga hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur mereka tanpa memahami tujuan mulianya.

 

4.      kebutuhan dasar manusia,

Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka

 

5.      posisi kontrol guru,

Lima posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer.

 

6.      segitiga restitusi

tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama segitiga restitusi/restitution triangle. Strategi yang direpresentasikan dalam 3 sisi segitiga restitusi adalah Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity) yakni Kita semua akan melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan, Validasi Tindakan yang Salah

(Validate the Misbehaviour) yakni Semua perilaku memiliki alasan, dan Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief) yakni Kita semua memiliki motivasi internal.

 

Perubahan yang terjadi pada cara berpikir saya dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah Anda setelah mempelajari modul ini adalah menciptakan budaya positif di kelas membutuhkan keberpihaan pada murid yakni dengan memperhatikan kebutuhan dasar murid guna memunculkan motivasi intrinsik pada murid. Sedangkan menciptakan budaya positif di sekolah membutuhkan kolaborasi antar elemen yang ada di sekolah dimulai dari murid, penjaga sekolah, guru hingga manajemen sekolah.

Pengalaman yang pernah saya alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif baik di lingkup kelas maupun sekolah, salah satu pegalaman yang saya alami terkair dengan budaya positif adalah berkaitan dengan murid. Selama ini saya terpaku dengan aturan. Yang patuh diberikan penghargaan dan yang tidak patuh akan diberi hukuman. Karena kondisi murid yang unik dan beragam, maka tidak jarang saya memberlakukan hukuman dan penghargaan hampir setiap waktu. Namun hal itu berhenti sejak awal bulan oktober. Saya  merasa hal itu tidak berefek karena murid yang yang mendapatkan penghargaan dan hukuman terjadi pada murid yang sama. Saya mencoba mengembalikan semua pada fungsinya. Dan ketika mendapatkan ilmu dari modul 1.4, saya mencoba menerapkannya. Salah satu yang paling berefek adalah pada pembiasaan di kelas. Penggunaan topi di kelas. Di saat biasanya saya mengambil topi, kini saya cukup berbicara “anak-anak, ropi itu fungsinya buat apa ya?” atau ketika ada murid yang mengobrol saya akan berbicara “hmmm… kira-kira sopan ga ya kalau kita mengobrol di depan orang yang sedang menjelaskan materi?” Diakhiri dengan senyuman dan sedikit penjelasan atau bahkan contoh. Hasilnya, murid lebih peduli dibandingkan dengan sebelumnya. Mereka menuruti tanpa gerutuan atau wajah yang tidak nyaman.

Pada akhirnya, bukan kelegaan dan kenyaman yang terjadi pada raut wajah murid, namun juga hati saya. Tidak ada rasa kesal karena murid tidak mengikuti aturan, namun lebih fokus pada bagian mana yang belum mereka fahami. Fokus pada solusi membuat saya lebih tenang dan nyaman saat menghadapi murid yang masih belum terbiasa denagn kebiasaan baik.

Dalam penerapan konsep-konsep tersebut tentaunya tidak sempurna. Hal yang sudah baik seperti mengembalikan kepada fungsinya di ruang lingkup kelas cukup baik dan efektif. Namun itu tidak terjadi pada murid yang tidak saya ajar. Butuh kolaborasi yang cukup erat antara satu guru dengan lainnya untuk menghadapi murid yang belum terbiasa dengan kebiasaan baik atau aturan yang di terapkan di sekolah. Menyamakan persepsi dan afeksi terhadap perilaku murid.  

Sebelum mempelajari modul ini, saya cenderung memposisikan diri sebagai pembuat merasa bersalah. Saya merasa bahwa dengan membuat murid merasa bersalah, diharapkan muncul keinginan memperbaiki diri. Namun kini saya berusaha untuk mengambil posisi manajer. Menghadapi murid berdasarkan situasi yang ada. Mencoba negosiasi memunculkan rasa tanggung jawab yang ada dalam diri murid. Tentunya menajdi seorang manajer tangangannya lebih besar, namun hasil yang dapatkan lebih berkualitas dan perubahan yang muncul dalam diir murid bertahan lebih lama dibanding denagn membuat murid merasa bersalah.

Sebelum mempelajari modul ini, beberapa kali dalam kasus tertentu saya menerapkan segituga restitusi. Tahapan yang biasa saya praktekkan adalah tahap menanyakan keyakinan. Biasanya itu dilakukan setelah sebelumnya kami (saya dan murid) telah bersepakat tentang kasus yang pernah murid alami. Hal yersebut juga saya lakukan saat menghadapi muris yang melanggar aturan sekolah dan posisi saya sebgai wali murid di sekolah. Mencoba menggambarkan kehidupan setelah saat ini guna mereka sadar bahwa mereka harus berubah dari kondisi saat ini.  

Hal lain yang menurut sayapenting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah adalah penjelasan mengenai psikologi murid berdasar tingkatan sangat perlu karena hal tersebut dapat menjadi bekal untuk melakukan pendekatan terhadap murid.

 

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.2 PEMIMPIN PEMBELAJARAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA   Oleh : Nining Yuningsih   Pengertian dan Im...