Koneksi Antar Materi - Modul 1.4
Menciptakan Budaya Positif
Nining Yuningsih
(CGP Angkatan 6)
Peran Menciptakan Bidaya Positif
Sebagai calon guru penggerak yang memiliki nilai berpihak pada murid dan
kolaboratif, serta inovatif, saya memiliki tanggung jawab untuk berpihak pada
murid dalam menanamkan budaya positif baik di kelas maupun di sekolah. Juga berkolaborasi
bersama guru lainnya juga phak sekolah untuk menciptakan budaya positif dengan
menyeragamkan persepsi dan sikap. Terhadao murid. Dan sebagai guru yang
inovatif, saya memiliki tanggung jawab untuk mencari cara terbaru yang efektif
saat menghadapi murid yang memiliki pengetahuan yang baru dan bayak juga kosakata
yang beragam.
Peran sebagai seorang pendidik yakni haruslah menjadi teladan, seorang
model sekaligus mentor dari anak/siswa di dalam mewujudkan perilaku yang
berkarakter yang meliputi olah pikir, olah hati dan olah rasa. Keyakinan kelas
wajib dimiliki oileh setiap kelas dan setiap guru sehingga guru dapat memiliki
atau mengambil peran sebagai posisi kontrol dari posisi kontrol yang ada (Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer).
Selain iytu, inovasi sanagt dibutuhkan oleh guru untuk menerapkan segitiga
restitusi untuk menghadapi siswa yang unik dan beragam.
Kolaborasi
antar elemen sekolah menajdi sebuah kewajiban untuk mewujudkan busaya positif
di sekolah. Penetapan aturan yang disepakati bersama menjadi tanggung jawab
bersama untuk merealisasikannya. Sosialisasi terhadap ilmu dan metode baru dari
satu elemen ke elemen lain. Saling bahu membahu untuk menciptakan segitiga
restitusi dalam peran masing-masing dalam diri guru. Menyaman persepsi dan
realisasi dalam disiplin positif menjadi kunci terciptanya budaya positif di
sekolah.
Refleksi pemahaman
1.
Disiplin positif
Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan
motivasi yang ketiga pada murid-murid yaitu untuk menjadi orang yang mereka
inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.
Ketika murid-murid memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi
intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh
pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan
berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang
menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai, atau mencapai suatu tujuan
mulia.
2.
Teori motivasi, hukuman dan penghargaan,
hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-tiba.
Anak atau murid tidak tahu apa yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman
bersifat satu arah, dari pihak guru yang memberikan, dan murid hanya menerima
suatu hukuman tanpa melalui suatu kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru,
baik sebelum atau sesudahnya. Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun
psikis, murid/anak disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata. Sementara
disiplin dalam bentuk konsekuensi, sudah terencana atau sudah disepakati; sudah
dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Umumnya bentuk-bentuk konsekuensi
dibuat oleh pihak guru (sekolah), dan murid sudah mengetahui sebelumnya
konsekuensi yang akan diterima bila ada pelanggaran. Pada konsekuensi, murid
tetap dibuat tidak nyaman untuk jangka waktu pendek.
3.
Keyakinan Kelas
Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang
kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan universal
yang disepakati secara tersirat dan tersurat, lepas dari latar belakang suku,
negara, bahasa maupun agama. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat
untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian
peraturan tertulis tanpa makna. Murid-murid pun demikian, mereka perlu
mendengarkan dan memahami arti sesungguhnya tentang peraturan-peraturan yang
diberikan, apa nilai-nilai kebajikan dibalik peraturan tersebut, apa tujuan
utamanya, dan menjadi tidak tertarik, atau takut sehingga hanya sekedar
mengikuti serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur mereka tanpa memahami
tujuan mulianya.
4.
kebutuhan dasar manusia,
Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu.
Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang
memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk
bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging),
kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Ketika seorang murid
melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau
melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi
kebutuhan dasar mereka
5.
posisi kontrol guru,
Lima posisi kontrol yang diterapkan seorang guru,
orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol
tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer.
6.
segitiga restitusi
tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua
dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi,
bernama segitiga restitusi/restitution triangle. Strategi yang direpresentasikan
dalam 3 sisi segitiga restitusi adalah Menstabilkan Identitas (Stabilize the
Identity) yakni Kita semua akan melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan, Validasi
Tindakan yang Salah
(Validate the Misbehaviour) yakni Semua perilaku
memiliki alasan, dan Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief) yakni Kita semua
memiliki motivasi internal.
Perubahan
yang terjadi pada cara berpikir saya dalam menciptakan budaya positif di kelas
maupun sekolah Anda setelah mempelajari modul ini adalah menciptakan budaya
positif di kelas membutuhkan keberpihaan pada murid yakni dengan memperhatikan
kebutuhan dasar murid guna memunculkan motivasi intrinsik pada murid. Sedangkan
menciptakan budaya positif di sekolah membutuhkan kolaborasi antar elemen yang
ada di sekolah dimulai dari murid, penjaga sekolah, guru hingga manajemen
sekolah.
Pengalaman yang pernah saya alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam
modul Budaya Positif baik di lingkup kelas maupun sekolah, salah satu pegalaman yang
saya alami terkair dengan budaya positif adalah berkaitan dengan murid. Selama ini
saya terpaku dengan aturan. Yang patuh diberikan penghargaan dan yang tidak patuh
akan diberi hukuman. Karena kondisi murid yang unik dan beragam, maka tidak
jarang saya memberlakukan hukuman dan penghargaan hampir setiap waktu. Namun hal
itu berhenti sejak awal bulan oktober. Saya merasa hal itu tidak berefek karena murid yang
yang mendapatkan penghargaan dan hukuman terjadi pada murid yang sama. Saya mencoba
mengembalikan semua pada fungsinya. Dan ketika mendapatkan ilmu dari modul 1.4,
saya mencoba menerapkannya. Salah satu yang paling berefek adalah pada
pembiasaan di kelas. Penggunaan topi di kelas. Di saat biasanya saya mengambil topi,
kini saya cukup berbicara “anak-anak, ropi itu fungsinya buat apa ya?” atau
ketika ada murid yang mengobrol saya akan berbicara “hmmm… kira-kira sopan ga
ya kalau kita mengobrol di depan orang yang sedang menjelaskan materi?” Diakhiri
dengan senyuman dan sedikit penjelasan atau bahkan contoh. Hasilnya, murid
lebih peduli dibandingkan dengan sebelumnya. Mereka menuruti tanpa gerutuan
atau wajah yang tidak nyaman.
Pada
akhirnya, bukan kelegaan dan kenyaman yang terjadi pada raut wajah murid, namun
juga hati saya. Tidak ada rasa kesal karena murid tidak mengikuti aturan, namun
lebih fokus pada bagian mana yang belum mereka fahami. Fokus pada solusi
membuat saya lebih tenang dan nyaman saat menghadapi murid yang masih belum
terbiasa denagn kebiasaan baik.
Dalam
penerapan konsep-konsep tersebut tentaunya tidak sempurna. Hal yang sudah baik
seperti mengembalikan kepada fungsinya di ruang lingkup kelas cukup baik dan
efektif. Namun itu tidak terjadi pada murid yang tidak saya ajar. Butuh kolaborasi
yang cukup erat antara satu guru dengan lainnya untuk menghadapi murid yang
belum terbiasa dengan kebiasaan baik atau aturan yang di terapkan di sekolah. Menyamakan
persepsi dan afeksi terhadap perilaku murid.
Sebelum
mempelajari modul ini, saya cenderung memposisikan diri sebagai pembuat merasa
bersalah. Saya merasa bahwa dengan membuat murid merasa bersalah, diharapkan
muncul keinginan memperbaiki diri. Namun kini saya berusaha untuk mengambil
posisi manajer. Menghadapi murid berdasarkan situasi yang ada. Mencoba negosiasi
memunculkan rasa tanggung jawab yang ada dalam diri murid. Tentunya menajdi
seorang manajer tangangannya lebih besar, namun hasil yang dapatkan lebih
berkualitas dan perubahan yang muncul dalam diir murid bertahan lebih lama dibanding
denagn membuat murid merasa bersalah.
Sebelum
mempelajari modul ini, beberapa kali dalam kasus tertentu saya menerapkan
segituga restitusi. Tahapan yang biasa saya praktekkan adalah tahap menanyakan
keyakinan. Biasanya itu dilakukan setelah sebelumnya kami (saya dan murid)
telah bersepakat tentang kasus yang pernah murid alami. Hal yersebut juga saya lakukan
saat menghadapi muris yang melanggar aturan sekolah dan posisi saya sebgai wali
murid di sekolah. Mencoba menggambarkan kehidupan setelah saat ini guna mereka
sadar bahwa mereka harus berubah dari kondisi saat ini.
Hal
lain yang menurut sayapenting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya
positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah adalah penjelasan mengenai
psikologi murid berdasar tingkatan sangat perlu karena hal tersebut dapat menjadi
bekal untuk melakukan pendekatan terhadap murid.